southest island of Indonesia

southest island of Indonesia
deeper more about ethnic

Senin, 06 Agustus 2012

always stopin awhile for sunset

I love every sunset.. it's me..
dan ku bersyukur,,, melihat sunset di pulauku,,, Rote Island, masih gratis. hehe. di pantai manapun mau liat sunset, pada hari apa pun,,, it's free honey.


meski kadang2 sudah cape2 sampe pantai, eh sunsetnya kehalang awan hitam (mendung). agak kecewa sii.... tapi ketika mengingat bahwa theres still much time, next dei maybe,, jadi ga ada lagi feelings like that.


aq selalu bersyukur buat setiap kesempatan bisa melihat sunset. ketika staring ar it,, selalu yg ada di benakku "inilah damai,, yaitu ketika ada di antara gelombang dan kerikil (yang terkenal sebagai badai kehidupan) tetapi kita ga terluka ataupun tergores,, meskipun jika mungkin ada luka ketika kita ga hati2,, tetapi itu ga terasa karna kita menikmatinya" dan "matahari alias waktu itu sesungguhnya bergerak sangat sangat amat cepat,, secepat turunnya ke balik lautan dan secepat mata berkedip ketika menatapnya.... tetapi ketika kita ga menikmatinya,,, waktu itu koq lama sekaliiii ya..."


ya... itulah sunsetku. hingga saat ini,, ketika kebetulan sedang lewat di pantai dan it will be sunset,,, aku akan selalu berhenti sejenak dari perjalanannku dan menikmati fenomena ruar biasa itu. I call it "always stopin awhile for sunset" .
until c u again sunset... maybe sebentar lagi :) :) would u join me??

Senin, 14 Mei 2012

about tenun ikat pulau rote


Tenun ikat adalah seni membuat kain dengan cara menenun benang dan pembuatan motifnya dengan cara diikat. Pekerjaan menenun di Pulau Rote dan Ndao sudah ada dari dahulu kala, sebelum zaman kemerdekaan. Menurut penuturan orang-orang tua, pekerjaan menenun ini diajarkan oleh penjajah Belanda hanya untuk wanita-wanita bangsawan / keluarga raja.
Pulau Rote dibagi menjadi 19 wilayah kerajaan (Nusak), dan hanya 19 keluarga raja (Manek) ini  saja yang dapat menenun. Kerajaan dan Rajanya ditetapkan oleh Belanda, dan di antara setiap kerajaan dipasang tiang tapal batas (Ai Sele). Kerajaan-kerajaan dan Marga Rajanya yaitu:

No
Nusak 
Manek

No
Nusak
Manek
1
Landu
Yohanis

11
Dengka
Tungga
2
Renggo
Daud

12
Dela
Ndun
3
Oepao
Siun

13
Oenale
Giri
4
Bilba
Lenggu dan Ngek

14
Ndao Nuse
Kotten
5
Diu
Manafe

15
Keka
Malelak
6
Termanu
Amalo

16
Talae
Saudale
7
Korbafo
Manubulu

17
Lole
Zacharias
8
Ba`a
Mandala

18
Bokai
Dupe
9
Lelain
Bessie

19
Lelenuk
Daik
10
Thie
Mesakh




 
Kain tenun dibuat sesuai fungsinya untuk digunakan sebagai penutup tubuh. Sebelum adanya pengetahuan membuat benang, masyarakat Rote menggunakan kaloro, sejenis penutup tubuh yang dianyam dari daun gewang. Kemudian pembuatan kain dari benang mulai ada setelah dikenalnya kapas. Pada zaman dahulu kapas didatangkan dari luar Rote. Kapas diolah menjadi benang dengan cara dijemur, dikeluarkan biji-bijinya, kemudian dikabutkan pada alat pengabut/ gasing/kine (dalam bahasa Rote Timur) (pengabutan: gumpalan kapas digelar pada alat pengabut hingga setipis mungkin, sehingga tampak seperti kabut) dan selanjutnya dipilin hingga menjadi untaian benang. Benang yang dihasilkan cenderung kasar/tebal. Untuk membuat kain, benang kapas digulung, lalu di rentangkan satu per satu (lolo / hani), lalu ditenun menggunakan alat tenun tradisional, dan menghasilkan kain dalam bentuk selimut untuk laki-laki dan sarung untuk perempuan.
            Proses pembuatan kain selimut ini sangat lama, membutuhkan waktu hingga 1 tahun untuk menghasilkan 1 lembar kain. Kain tenun dari benang kapas tersebut digunakan untuk upacara adat dan sebagai upeti, sedangkan pakaian sehari-hari menggunakan kaloro, atau tidak berpakaian.

Motif dan pewarnaan
Sebelum tahun 1940an,, ,
tenunan tidak memiliki motif. Benang hanya ditenun menjadi kain putih polos. Motif mulai diciptakan di era tahun 1940an dan bentuk motif tersebut berakar dari kepercayaan dan mata pencaharian masayarakat. Pada dasarnya bentuk motif tenun ikat Rote adalah bangun persegi empat yang disambung-sambung. Motif utama seluruh Rote terdapat pada kain selimut untuk pria (lafa). Ciri khas motif Rote terdapat pada kepala selimut (lafa langgak) berupa lambang lilin dan salib (kepercayaan agama Kristen). Kemudian motif selanjutnya setelah kepala selimut dibedakan berdasarkan wilayah kerajaan.
Gambar motif kepala selimut (lafa langgak)
Motif tenun ikat yang ada di Rote terbagi menjadi 2 aliran utama yaitu Rote bagian barat (henak anan = anak pandan / hendak) dan Rote bagian timur (lamak nen = anak belalang). Rote barat meliputi Nusak Ba`a hingga Lelenuk, sedangkan Rote Timur meliputi Nusak Landu hingga Renggo. Motif Rote Timur terinspirasi dari makanan belalang berupa daun-daun halus (ngganggu dok = daun kangkung), pada umumnya motif-motifnya berbentuk jalinan daun-daun kecil (bertalian).
Contoh motif dari Rote Timur : daun-daun kecil yang bertalian
 


motif buah pandan
Motif Rote Barat terinspirasi dari buah pandan, motifnya berbentuk daun-daun atau jajar genjang yang ukurannya lebih besar dari motif Rote Timur. Motif Rote Barat terbagi lagi dalam 3 aliran yaitu:
-          Thie, Dengka, Dela, Oenale : motif Pending
-          Ndao Nuse : motif Hua Ana Langi dan Mada Karoko (Hua Ana Langi adalah motif Raja)
Ba`a, Lelain, Keka, Talae, Lole, Bokai, Lelenuk : motif Daun-daun besar (dalam bahasa Ndao: “ roa`ju ”, dalam bahasa Ba`a: “ su`u dok “) 
 motif su'u dok
Motif pending ditiru dari bentuk pending (ikat pinggang tradisional Rote). Motif Ndao Nuse berasal dari hewan-hewan laut, (hua ana langi: ikan garagahing ; mada karoko: duri laut / tek). Motif su’u dok berasal dari bentuk daun sukun (sukun adalah makanan rakyat Baa ketika zaman perang). Hingga saat ini motif terus mengalami modifikasi oleh para penenun, dan menghasilkan beraneka ragam motif, tetapi jika diperhatikan baik-baik, seluruh motif tersebut tetap mempertahankan aliran motif Rote (persegi empat yang disambung-sambung berbentuk daun, jajar genjang dan salib).

Sebelum adanya tali rafia, pengikatan motif menggunakan tali dari daun gewang (heknak). Tali heknak terbagi dua, yang berwarna putih (halus) untuk tenun ikat dan yang berwarna coklat (kasar) sebagai tali untuk kebutuhan sehari-hari).
            Motif terbentuk karena adanya teknik pewarnaan. Ciri khas warna tenunan Rote yaitu hitam dan putih. Cara mewarnainya dengan bahan-bahan alami yang unik. Orang Rote sudah dapat menghasilkan warna tenunan yang tidak luntur dengan ramuan yang disebut Pama`a. Pama`a adalah air rendaman abu dari kulit buah nitas yang dibakar. Untuk menghasilkan warna hitam, benang direndam dalam Pama’a, kemudian direndam dalam lumpur di danau tempat berkubangnya kerbau. Benang tersebut direndam di lumpur yang dalam dan ditinggal selama berbulan-bulan hingga akhirnya menjadi warna hitam. Seiring dengan perkembangan zaman, sebelum adanya bahan-bahan pewarna sintetik, orang Rote memodifikasi warna motif tenun ikatnya dengan warna orange dan biru. Orange dihasilkan dari pohon mangkudu (akar mangkudu ditumbuk halus kemudian direndam bersama-sama benang), sedangkan warna biru dihasilkan dari pohon nila / tauk (daun nila dicampurkan dengan garam dan diaduk2 dalam air hingga menjadi biru, kemudian airnya tersebut digunakan untuk merendam benang).
Mulai tahun 1940an, pekerjaan menenun mulai diajarkan kepada rakyat biasa (non keluarga raja). Setiap gadis yang akan menikah harus dapat menenun. Biasanya kemampuan menenun si gadis diuji menjelang upacara peminangan (masominta), jika si gadis belum dapat menenun maka pernikahan tersebut harus ditunda bahkan dibatalkan. Tingkat kehormatan si gadis dinilai dari berapa banyak kain tenun yang dibuatnya sebelum menikah. Semakin banyak kain yang dimiliki semakin tinggi nilai gadis tersebut bagi keluarga pria. Rakyat biasa diperbolehkan menggunakan kain tenun, tetapi dilarang keras menggunakan motif Raja (motif asli). Jika kedapatan rakyat biasa menggunakan kain tenun yang ada motif rajanya maka saat itu juga kain tersebut harus dimusnahkan (dicincang dan dibakar). Motif Raja dianggap hal keramat dan sangat dihormati oleh rakyat biasa.
Ketika semakin banyak wanita di pulau Rote dan Ndao dapat menenun, didukung dengan mulai adanya benang dan pewarna dari pabrik, pekerjaan tenun mulai ditinggalkan oleh masyarakat di Pulau Rote. Mereka lebih fokus pada pekerjaan bercocok tanam dari pada menenun kain. Hanya kaum wanita Pulau Ndao saja yang tetap melakukan pekerjaan tenun. Mereka biasanya duduk di halaman rumah dan seharian membuat tenun ikat, sedangkan kaum pria bekerja keras di luar rumah untuk mendapatkan makanan. Oleh karena itu, masyarakat Rote member julukan bagi orang Ndao “ Tou Ndao Loi-loi, Ina Ndao Na`a Mu`dak “ artinya “ pria Ndao membanting tulang (bekerja keras di luar), Perempuan Ndao berpangku tangan (makan gampang).